Para ahli tulang menyarankan, awal usia 30-an sebaiknya sudah mulai merawat tulang sebaik-baiknya, terutama kaum wanita yang besar kemungkinannya mengalami osteoporosis (kekeroposan tulang) setelah masa menopause.
Menurut penelitian di Australia, setiap tahun 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu di antaranya meninggal karena komplikasi. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan, 25% wanita dan 6% pria di negeri Kanguru itu bakal terkena osteoporosis. Hampir seperempat dari jumlah wanita menopause di negara-negara industri mengalami osteoporosis yang merupakan masalah kesehatan utama pada kelompok ini.
Semakin panjang usia harapan hidup, semakin banyak penderita osteoporosis yang ditandai dengan hilangnya massa tulang secara berlebihan sehingga menyebabkan tulang menjadi lemah, tidak tahan terhadap tekanan sehingga mudah patah.
Pada tahun 90-an di seluruh dunia diperkirakan terdapat 1,6 juta kasus patah tulang panggul, dan diramalkan akan meningkat hingga 3,94 juta kasus tahun 2025, dan 6,26 juta kasus dalam 25 tahun berikutnya seiring dengan semakin tingginya usia harapan hidup.
Pembentukan sel tulang
Pembentukan sel tulang diawali oleh adanya sel pembentuk tulang yang dinamakan sel osteogenik. Melalui proses mineralisasi, sel ini membentuk osteid yang berkembang menjadi osteosit padat, keras, dan kompak. Jadi, tulang kita itu terbentuk dari perkembangan sejumlah osteosit yang telah matang.
Ada dua proses utama yang bekerja pada siklus tulang. Pertama, bone formation yaitu pembentukan sel-sel tulang melalui aktivitas sel osteoblast. Kedua, bone resorption yakni penguraian sel-sel tulang melalui aktivitas sel osteoclast. Proses resorpsi tulang diperlukan untuk menjamin persediaan ion-ion kalsium dalam plasma darah.
Sekitar 0,4 - 1% kalsium total tulang merupakan cadangan yang dapat diserap kembali ke dalam darah dan didistribusikan ke seluruh sel jaringan. Kadar normal kalsium plasma berada pada kisaran 10 mg%. Kondisi hipokalsemik atau kekurangan kalsium (kurang dari 10 mg%) dan hiperkalsemik atau kelebihan kalsium (lebih dari 10 mg%) akan terus dikendalikan dalam sistem homeostasis yang diatur secara otomatis oleh tubuh.
Keadaan hipokalsemik merangsang terjadinya penyerapan kembali ion-ion kalsium dari tulang ke darah, sedangkan pada keadaan hiperkalsemik sistem tubuh akan melakukan penarikan ion-ion kalsium menjadi garam-garamnya, yang disimpan kembali di dalam tulang.
Ketidakmampuan tubuh menurunkan kadar kalsium darah yang berlebihan dapat menimbulkan efek penekanan terhadap sistem saraf pusat dan perifer, terjadinya kelemahan otot, konstipasi, sakit perut, kehilangan nafsu makan, dan penurunan kemampuan relaksasi jantung pada saat diastolik. Di sisi lain, ion kalsium diperlukan antara lain dalam pengaturan lompatan listrik antarsel sehingga memungkinkan untuk dapat berkontraksi. Hipokalsemik antara lain dapat menyebabkan penurunan kemampuan kontraksi otot pada organ tubuh saat jantung pada kondisi sistolik.
Secara keseluruhan, kedua proses itu disebut bone turnover yang dikendalikan oleh vitamin D serta dua hormon utama lain: paratiroid, yang menyokong aktivitas sel osteoclast, dan hormon kalsitonin, yang menyokong aktivitas sel osteoblast.
Vitamin D bekerja melalui peningkatan daya serap mineral pada sistem pencernaan serta meningkatkan penyerapan kembali di ginjal sehingga kadar kalsium plasma tetap terpelihara tinggi.
Pada keadaan normal, ketiga substansi ini bekerja secara kompak sehingga antara pembentukan sel tulang (mineralisasi) dengan penguraian sel tulang (demineralisasi) secara fisiologik berjalan seimbang. Artinya, pada saat tersebut tulang dapat memainkan peranannya sebagai tempat cadangan (resevoar) kalsium dengan baik tanpa menyebabkan kerusakan pada tulang itu sendiri. Kondisi seperti itu terjadi pada manusia dewasa yang sehat.
Persoalan akan muncul bilamana keseimbangan proses terganggu. Gangguan dapat terjadi akibat adanya kekurangan vitamin D, gangguan hormonal karena kanker atau akibat penggunaan obat tertentu, serta gaya hidup orang yang bersangkutan.
Osteoporosis terjadi akibat ketidakseimbangan antara proses demineralisasi - yang lebih tinggi - dan proses mineralisasi tulang. Tulang keropos ini terutama banyak dialami wanita usia menopause (50-an). Ketidakseimbangan itu terjadi karena penurunan drastis produksi hormon estrogen yang mestinya membantu penyerapan kalsium. Akibatnya, tulang kehilangan massa dalam jumlah besar sehingga kekuatannya pun melorot drastis. Kalau kondisi ini dibiarkan, risiko terjadi patah tulang (fraktur) sulit dihindari.
Berbagai pemicu
Massa kalsium dalam tulang mencapai puncaknya pada usia 35 tahun, setelah itu terus menurun yang berarti pula osteoporosis mulai mengancam. Bahkan proses degenerasi dikatakan lebih awal lagi, sehingga di usia 20 - 30-an hendaknya mulai bersiap-siap menjaga kondisi tulang.
Kekurangan kalsium dalam tulang memang merupakan proses alami yang sulit dihindari sejalan dengan bertambahnya umur. Semakin tua, semakin cepat tubuh menyerap kalsium dari tulang sebelum sempat digantikan.
Begitu wanita mencapai usia menopause, maka semakin menurun pula kadar kalsium dalam tulang. Diduga hal ini berkaitan erat dengan kemampuan tubuh mensekresi (menghasilkan) hormon estrogen. Hormon ini bekerja secara tidak langsung melalui pengaturan produksi hormon lainnya berdasarkan fungsi masing-masing. Pada wanita dewasa yang sehat sekresi hormon kalsitonin juga dipengaruhi oleh adanya hormon estrogen. Jadi, dengan menurunnya sekresi estrogen ini, pengendalian sekresi kalsitonin pada sel parafolikuler tiroid menjadi terganggu. Maka pengeroposan tulang lebih cepat terjadi pada wanita menopause.
Selain faktor menurunnya sekresi estrogen, ada beberapa pemicu lain lagi seperti jumlah vitamin D yang tidak cukup dalam tubuh, penyakit diabetes, merokok, terlalu banyak kalsium yang dikeluarkan dalam air seni, konsumsi kalsium yang kurang selama jangka waktu tertentu, ketidakmampuan usus menyerap kalsium, dan kurang berolahraga atau latihan yang menunjang kekuatan tulang.
Kemudian juga terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, obat antiradang atau obat steroid, kafein atau terlalu banyak konsumsi protein yang akan mengurangi kadar kalsium dalam tubuh, kelainan anoreksia (tidak mau makan karena takut gemuk), faktor keturunan (kerangka tulang yang tipis dan kecil lebih mudah mengalami kelainan ini), serta gaya hidup yang yang tidak teratur atau banyak stres.
Cara melawan
Melihat sejumlah penyebab itu, gaya hidup dan kualitas hidup yang baik merupakan kunci untuk menghindari tulang keropos. Olahraga yang teratur dapat merangsang osteoblast untuk membentuk jaringan tulang yang kokoh.
Wanita yang rajin berolahraga seperti latihan beban, jalan kaki, berenang, aerobik, dan suka berdansa jauh sebelum usia menopause terbukti lebih kokoh tulangnya. Olahraga yang terbukti bisa memperkokoh tulang itu dianjurkan dilakukan 3 kali seminggu masing-masing selama 30 menit. Bila mulai terjadi kekeroposan, olahraga yang disarankan adalah berenang.
Namun perlu disadari, osteoporosis memang sesuatu proses yang terjadi secara alami, tidak dapat dihindarkan oleh siapa pun sejalan dengan pertambahan usia menjelang senja.
Secara sederhana pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari pemicu timbulnya penyakit. Juga meningkatkan kekuatan tulang dengan olahraga dan diet makanan yang baik dan seimbang.
Pengobatan dilakukan berdasarkan penyebab terjadinya kasus. Misalnya, osteoporosis yang disebabkan rendahnya kemampuan penyerapan kalsium pada usus halus karena kekurangan vitamin D dapat ditangani dengan penambahan vitamin D; kekurangan kalsium dalam diet dapat ditangani dengan asupan kalsium yang cukup. Orang dewasa membutuhkan sekitar 1.000 mg kalsium/hari. Pada kasus osteoporosis karena kekurangan hormon, pengobatan tidak dengan vitamin D atau kalsium tapi dengan hormon juga.
Terapi hormon relatif masih baru bagi penanganan osteoporosis. Proses pembentukan tulang dikendalikan oleh adanya hormon kalsitonin. Temuan para ahli menunjukkan, hormon kalsitonin pada manusia mempunyai kemiripan dengan hormon beberapa jenis hewan seperti belut, babi, dan ikan dengan 32 jenis asam amino yang membentuknya. Di Jepang telah dikembangkan penelitian pengobatan dengan hormon kalsitonin dari belut.
Sementara itu FDA (Pengawasan Obat dan Makanan AS) merekomendasikan penggunaan hormon sintetik ikan salmon. Penelitian menunjukkan, pengobatan dengan hormon kalsitonin memberikan hasil memuaskan dengan efek sampingan relatif ringan.
Sebagai molekul polipeptida, kalsitonin tidak dapat diberikan secara oral karena akan diuraikan oleh enzim-enzim di saluran pencernaan, sehingga efek terapi yang diharapkan tidak diperoleh. Obat ini akan lebih tepat kalau diberikan melalui suntikan. Menurut sebuah penelitian, kalsitonin juga dapat diserap melalui mukosa hidung, memasuki pembuluh darah perifer sehingga dapat juga diberikan dalam bentuk spray hidung. Cara ini tentu lebih praktis karena tidak perlu bantuan dokter, walaupun mengontrolkan diri ke dokter secara teratur tetap diperlukan.
Terapi dengan kalsitonin ternyata memberikan efek sampingan yang menguntungkan, yakni efek analgesik (penghilang rasa sakit) yang cukup kuat. Hal ini sangat membantu pasien dalam menangani rasa sakit yang disebabkan oleh berbagai gangguan tulang.
Namun mekanisme kerja analgesik ini belum dapat diketahui secara pasti, tetapi diduga terjadi melalui peningkatan aktivitas osteoblast yang memungkinkan terjadinya penurunan ion kalsium darah sehingga sensitivitas nyeri saraf perifer menurun ke tingkat normal. Lalu terjadi penghambatan sekresi prostaglandin (kelompok asam lemak hidroksida yang merangsang kontraksi otot serta menurunkan tekanan darah); stimulasi pembentukan endorfin (transmitor pada saraf tertentu yang mempunyai khasiat seperti morfin); kemudian mempengaruhi pusat rasa sakit di otak.
Begitu Anda merasakan keluhan pada tulang, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter. Terutama bagi Anda yang sudah menginjak usia 30-an, hindari stres, makanlah dengan menu yang seimbang, dan secara teratur melakukan olahraga atau latihan yang dapat memperkokoh tulang.
#dr bbg sumber /file grabbing